Profil Pengusaha Carline Darjanto
Konsep bisnis fashion masa kini yaitu nyaman dipakai, berkualitas, dan cocok buat semua. Artinya bahwa desainer harus membuat fashion lebih praktikal. Ria Sarwono dan sahabatnya, Carline Darjanto, memilih pakaian murah praktikal tetapi berkualitas. Secara teori berarti pakaian mereka akan nyaman dipakai.
Keduanya sudah mengenal sejak SMP. Dua sahabat ini memiliki pandangan sama tentang pilihan dress, accessorizes, pants, dll. Pandangan tersebut lantas tertuang dalam brand Cotton Ink. Itu loh salah satu brand yang masuk daftar pengusaha muda Forbes Indonesia.
Ria dan Carline sama- sama berkursus di London Collage of Fashion. Kursus singkat yang disusul dengan peluncuran Cotton Ink pada November 2008 akhir. Carline sendiri selepas SMP, masuk SMA, kemudian masuk jurusan desainer, Lasalle Collage of Fashion, Jakarta. Ketemu kembali dengan Ria, keduanya lalu berbisnis.
Momen bisnis mereka dimulai ketika mendapatkan satu kesempatan. Waktu itu keduanya mendapat satu kesempatan langka dengan Presiden Obama. Mereka membuat kaus sablon berwajah Obama tahun 2008. Dari sekedar kaus bersablon, lantas mereka merambah ready to wear, dari legging, shawl, serta aksesoris.
Produk shawl atau syal menjadi andalan. Ketika memulai produk mereka satu ini paling dicari. Untuk satu produk syal mereka menggunakan bahan langka. Bahan bernama tubular yang bahan kaus lingkaranya tanpa jahitan. Memang belum banyak penggunannya dan inilah momentum dibuka Cotton Ink.
Bisnis fasion
Produk bernama tabular shawl ini memang terkenal. Kreatifitas mereka menembus batasan. Alhasil dapat dipadu padankan dengan pakaian apapun. Desain multifungsi memang jadi andalan. Inilah yang penulis sebut sebagai pakaian praktikal. Cotton Ink sudah memiliki kelebihan dibanding produk fashion lain.
Carline menambahkan pelanggan mereka suka simple. Meskipun begitu harus memiliki detail di atas kain. Cotton Ink menggunakan katun dalam negeri. Harga jangkauan shawl produk mereka yakni Rp.69.000 dan Rp.349.000 buat jaket luaran dan outwear lainnya. Keuntungan sudah 80% dari omzet dicapai mereka loh.
Pemasaran fokus online dan offline. Cotton Ink sudah bekerja sama dengan The Good Dept, Pacific Place di Jakarta, ESTplus di Bandung, Widely Project, Happy-go-Lucky, dan di Surabaya ada butik ORE. Cotton Ink juga melayani pembeli asing seperti Singapura, Malaysia, Australia, dan Eropa.
Pemasaran memakai berbagai media, mulai di berbagai sosial media, Facebook, Twitter, Instagram, dan Pinterest. Kemudian juga melalui media blog Tumblr dan website toko cottonink-shop.com
Carline menyebut sukses mereka berkat ciri khas. Membedakan bisnis mereka dengan bisnis fashion asli Indonesia lain. Cotton Ink punya desain sendiri. Hal paling menantang menjadi pengusaha fasion: Bahwa orang selalu menuntut hal terbaru soal fasion. Mereka butuh terus mengembangkan bisnis mereka kelak.
"Kami dituntut selalu memiliki ide baru," jelasnya. Meski begitu produk karya lama mereka masih dapat diterima baik. Kekhawatiran mereka terbayar melalui kualitas bahan unggulan. Tidak ada desain baju baru setiap hari. Mereka cukup fokus memperluas pasar ke masyarakat lebih luas.
Diusia muda nama mereka memang menggema. Banyak sudah penghargaan diraih, mulai macam Most Favorite Brand di Brightshop Market, The Most Innovative Brand di Cleo Fashion Award (atau Jakarta Fashion Week), Best Brand Local oleh Free Magazine, serta merek loka terfavorit Style Magazine pada 2010.
"Industri fasion penuh tantangan. Kami harus bisa kreatif di segala hal," Carline menambahkan. Caranya sukses ya fokus solusi masalah bukan masalahnya.
Dinobatkan sebagai salah satu 30 Under 30 Asia oleh Forbes. CEO sekaligus Creative Director Cotton Ink ini mengaku tidak bereaksi berlebihan. Wanita 28 tahun ini memandang justru inilah tolak ukur bagi mereka masuk ke pasar global Asia.
Dia cuku kaget ketika mendapatkan email dari Forbes. Ternyata tidak mudah loh, dia harus ditanyai dahulu sebalum akhirnya mendapatkan jawaban masuk atau tidak. Cotton Ink membanggakan karena 100% hasil karya Indonesia. Dia berharap kawan- kawan pengusaha muda retail dan desain tetap semangat ya.
Pemasaran memakai berbagai media, mulai di berbagai sosial media, Facebook, Twitter, Instagram, dan Pinterest. Kemudian juga melalui media blog Tumblr dan website toko cottonink-shop.com
Carline menyebut sukses mereka berkat ciri khas. Membedakan bisnis mereka dengan bisnis fashion asli Indonesia lain. Cotton Ink punya desain sendiri. Hal paling menantang menjadi pengusaha fasion: Bahwa orang selalu menuntut hal terbaru soal fasion. Mereka butuh terus mengembangkan bisnis mereka kelak.
"Kami dituntut selalu memiliki ide baru," jelasnya. Meski begitu produk karya lama mereka masih dapat diterima baik. Kekhawatiran mereka terbayar melalui kualitas bahan unggulan. Tidak ada desain baju baru setiap hari. Mereka cukup fokus memperluas pasar ke masyarakat lebih luas.
Diusia muda nama mereka memang menggema. Banyak sudah penghargaan diraih, mulai macam Most Favorite Brand di Brightshop Market, The Most Innovative Brand di Cleo Fashion Award (atau Jakarta Fashion Week), Best Brand Local oleh Free Magazine, serta merek loka terfavorit Style Magazine pada 2010.
"Industri fasion penuh tantangan. Kami harus bisa kreatif di segala hal," Carline menambahkan. Caranya sukses ya fokus solusi masalah bukan masalahnya.
Dinobatkan sebagai salah satu 30 Under 30 Asia oleh Forbes. CEO sekaligus Creative Director Cotton Ink ini mengaku tidak bereaksi berlebihan. Wanita 28 tahun ini memandang justru inilah tolak ukur bagi mereka masuk ke pasar global Asia.
Dia cuku kaget ketika mendapatkan email dari Forbes. Ternyata tidak mudah loh, dia harus ditanyai dahulu sebalum akhirnya mendapatkan jawaban masuk atau tidak. Cotton Ink membanggakan karena 100% hasil karya Indonesia. Dia berharap kawan- kawan pengusaha muda retail dan desain tetap semangat ya.