Profil Pengusaha Sukses Farida
Menjadi karyawan sewasta tidak menjamin hidup. Itulah kiranya dirasakan seorang wanita bernama Farida, warga Medan, kelahiran 17 Maret 1978 yang memilih wirausaha. Dulu dia pernah bekerja sebagai pegawai di sebuah hotel. Lantas ia memilih mengundurkan diri dan mulai berjualan aneka cemilan.
Usaha bermodal Rp.120 ribu, ya, pengusaha berhijab ini memang terlihat modal nekat. Tetapi dia sadar akan kemampuannya mengolah masakan. Maka sejak 2011 dimulailah perjalanan Farida berbisnis cemilan. Soal memasak bersyukur dia sempat bekerja di dapur meski pekerjaan utamanya di purchasing.
Alasan utama keluar dari pekerjaan hotel karena pendapatan tidak tetap. Jam kerja juga sangat menguras tenaga hingga sampai larut malam. "Kok sepertinya begini- begini saja ya, lama- lama makin jenuh," kenang Farida.
Berhenti bekerja di hotel, dia langsung tancap gas memulai usaha. Meski minim modal tetap itu dikerjakan ia penuh semangat. Anak ketiga dari empat bersaudara membobol uang tabungan seadanya. Usaha pertama ia cuma membuat dua jenis camilan, yaitu kue bawang original dan jagung.
Selesai dia langsung menjajakan langsung dari pintu ke pintu. Pertama menjual, Farida menjelaskan dia jual di kawasan Lapangan Merdeka. "Alhamdulillah, waktu itu saya mendapatkan hasil Rp.290.000," kenang dia lagi. Dia menyebutkan untung dia dapat sampai dua kali lipat! Waktu itu langsung uang diputar kembali jadi modal.
Sukses tidak cuma dibeli tetapi mendapat pesanan acara tertentu. Juga merambah pesanan kantor ataupun dari instansi pemerintah.
Inovasi bisnis
Total delapan jenis cemilan lantas dikembangkan Farida. Tentu itu belum cukup, dalam perjalanannya usaha yang bernama Savira ini terus berkembang. Ada delapan kue: Kue bawang ubi ungu, kue bawang wortel, kue bawang kentang, kue bawang labu, kue mercu, kue ketawa, peyek teri, peyek kacang tanah, dan peyek kacang hijau.
Termasuk abon nangka khas buatan Farida. Harga bervariasi dari Rp.45 ribu sampai Rp.75.000 per- kg. Ia menjelaskan awalnya melihat produk orang lain. Namun, dia tidak meniru malah memperbaikinya lewat gaya olahan sendiri.
"Alhamdulillah, lama- lama produk saya bisa diterima di pasaran," ujarnya. Mungkin karena latar pendidikan SMK membuatnya selalu inovatif dan berani.
Usaha dijalankan Farida tidak mulus. Faktanya ada masa jatuh bangun termasuk ketika memasarkan. Coba kamu bayangkan dia membawa bungkusan cemilan banyak, dan dia harus berjalan kaki dan tak jarang dia malah diusir keamanan. Hal tesebut tidak membuat Farida patah semangat loh.
Kegigihan ditunjukan olehnya tanpa memiliki toko sendiri. Semakin banyak olahan camilah ditunjukan Savira menggugah selera. Total produksi perhari mencapai 1kg sampai 3kg, naik sampai 400 hingga 450kg per- bulan atau 100kg per- hari. Untuk kemasan lebih baik hingga lebih berwarna menarik perhatian.
Pemasaran sudah mencapai pasar retail. Sudah masuk ke supermarket, minimarket, plaza, dan kedai kue. Ia bersemangat karena didukung Dinas Koperasi Provinsi, Disnaker Medan, Diskop Deliserdang, Cikal USU, pernah membantunya soal permodalan. Kini, Farida sudah memiliki toko sendiri, seperi cita- citanya awal.
Ia masih menjual door-to-door. Dan perputaran uang disebutnya sangat cepat dibanding menunggu pembeli datang. Resiko barang sisa pun lebih minimal dibanding cuma nongkrong di toko. Ditemui oleh pewarta MedanBisnis, tokonya Jl. Citarum VII, Medan Krio Kab. Deli Serdang, ia tampak bersemangat menata camilan.
Ia mengisahkan pernah sekali salah sasaran. Pernah nyasar masuk ke Dinas Koperasi, eh, ia malah diajak buat mengikuti pameran di PRSU. Terus cara marketing sederhana tersebut dilakukan mulai kantor, pasar, ataupun sarana publik. "Enaknya promosi langsung sama orang," tuturnya.
Banyak feedback didapatkan ketika berjualan keliling. Farida tanpa sungkan mengajak bicara pembeli. Dia menanyakan selera mereka serta apa kekurangan dalam produknya. Bertemu konsumen banyak masukan ia terima. Inovasi pun mengikuti selera pasar namun tetap mengedepankan inovasi.
Dirintis 6 tahun silam, usahanya telah beromzet Rp.10 juta per- bulan. Margin untung Farida mengaku bisa mencapai 30% hingga 40%. Susahnya berjualan door- to- door ialah ketika dia disangka pedagang asongan. Dicemooh calon pembeli seperti pedagang asongan sudah menjadi makanan sehari- hari.
Tetap dia tidak mau merubah gaya berjualannya. Agar pelanggan percaya tidak lupa dibawa taster, agar para pelanggan langsung mencoba di tempat. Kalau sudah tau rasanya maka orang tidak lagi akan mencemooh Farida lagi. "Enak jualannya kayak kacang goreng. Tapi, capek pasti," paparnya.
Kalau ada acara besar keagamaan usahanya meledak. Seperti 2013, ia menyebut angka produksinya sudah naik sampai 300kg camilan dalam dua minggu. Meski sudah laris manis, Farida kekeh tidak menaikan harga jualan aneka camilan Savira.
Sukses aneka camilan, Savira mulai melirik olahan abon, tidak sekedar abon tetapi abon nangka. Untuk satu hal ini tidak membutuhkan modal yang besar. Ia menyebut Rp.140 ribu sudah menghasilkan abon nangka.
Ia mewujudkan visinya menciptakan abon berbahan nabati. Waktu itu Farida kepikiran nangka juga karena tidak sengaja. Awalnya dia berencana memakai jantung pisang. Ketika dia mencari, eh, malah dia ketemu nangka. Mencari malah menemukan nangka lagi. Begitu seterusnya itu hingga seperti jadi tanda dari langit.
Keinginan membuat abon nabati karena dirasa belum ada. Farida lantas mencari tau lagi agar meyakinkan. Ia menemukan di internet bahwa baru di Pula Jawa ada abon nangka. Kenapa tidak membuat berbahan buah atau sayuran inilah ide bisnisnya.
Agar beda dari abon nangka Jawa, maka Farida menambahkan ikan teri khas Medan. Itu dipelajari Farida secara otodidak melalui serangkaian percobaan. Baru satu pekan diluncurkan, respon masyarakat ternyata sangat baik. Cara membuatnya mudah seperti abon biasa, "dikeringkan, dan ditumis kering dan kemudian digoreng.
Dalam seminggu sejak peluncuran, yang sebelumnya produksi 4kg bahan baku naik 5kg. Harga jualpun dia patok seharga Rp.12.000. Untuk marketing masih sama yaitu jemput bola atau door- to- door. Dia optimis apalagi menjelang musim lebaran. "Karena bisa dimakan sama lontong," tuturnya.
Usaha dijalankan Farida tidak mulus. Faktanya ada masa jatuh bangun termasuk ketika memasarkan. Coba kamu bayangkan dia membawa bungkusan cemilan banyak, dan dia harus berjalan kaki dan tak jarang dia malah diusir keamanan. Hal tesebut tidak membuat Farida patah semangat loh.
Kegigihan ditunjukan olehnya tanpa memiliki toko sendiri. Semakin banyak olahan camilah ditunjukan Savira menggugah selera. Total produksi perhari mencapai 1kg sampai 3kg, naik sampai 400 hingga 450kg per- bulan atau 100kg per- hari. Untuk kemasan lebih baik hingga lebih berwarna menarik perhatian.
Pemasaran sudah mencapai pasar retail. Sudah masuk ke supermarket, minimarket, plaza, dan kedai kue. Ia bersemangat karena didukung Dinas Koperasi Provinsi, Disnaker Medan, Diskop Deliserdang, Cikal USU, pernah membantunya soal permodalan. Kini, Farida sudah memiliki toko sendiri, seperi cita- citanya awal.
Ia masih menjual door-to-door. Dan perputaran uang disebutnya sangat cepat dibanding menunggu pembeli datang. Resiko barang sisa pun lebih minimal dibanding cuma nongkrong di toko. Ditemui oleh pewarta MedanBisnis, tokonya Jl. Citarum VII, Medan Krio Kab. Deli Serdang, ia tampak bersemangat menata camilan.
Ia mengisahkan pernah sekali salah sasaran. Pernah nyasar masuk ke Dinas Koperasi, eh, ia malah diajak buat mengikuti pameran di PRSU. Terus cara marketing sederhana tersebut dilakukan mulai kantor, pasar, ataupun sarana publik. "Enaknya promosi langsung sama orang," tuturnya.
Terus berbisnis
Banyak feedback didapatkan ketika berjualan keliling. Farida tanpa sungkan mengajak bicara pembeli. Dia menanyakan selera mereka serta apa kekurangan dalam produknya. Bertemu konsumen banyak masukan ia terima. Inovasi pun mengikuti selera pasar namun tetap mengedepankan inovasi.
Dirintis 6 tahun silam, usahanya telah beromzet Rp.10 juta per- bulan. Margin untung Farida mengaku bisa mencapai 30% hingga 40%. Susahnya berjualan door- to- door ialah ketika dia disangka pedagang asongan. Dicemooh calon pembeli seperti pedagang asongan sudah menjadi makanan sehari- hari.
Tetap dia tidak mau merubah gaya berjualannya. Agar pelanggan percaya tidak lupa dibawa taster, agar para pelanggan langsung mencoba di tempat. Kalau sudah tau rasanya maka orang tidak lagi akan mencemooh Farida lagi. "Enak jualannya kayak kacang goreng. Tapi, capek pasti," paparnya.
Kalau ada acara besar keagamaan usahanya meledak. Seperti 2013, ia menyebut angka produksinya sudah naik sampai 300kg camilan dalam dua minggu. Meski sudah laris manis, Farida kekeh tidak menaikan harga jualan aneka camilan Savira.
Sukses aneka camilan, Savira mulai melirik olahan abon, tidak sekedar abon tetapi abon nangka. Untuk satu hal ini tidak membutuhkan modal yang besar. Ia menyebut Rp.140 ribu sudah menghasilkan abon nangka.
Ia mewujudkan visinya menciptakan abon berbahan nabati. Waktu itu Farida kepikiran nangka juga karena tidak sengaja. Awalnya dia berencana memakai jantung pisang. Ketika dia mencari, eh, malah dia ketemu nangka. Mencari malah menemukan nangka lagi. Begitu seterusnya itu hingga seperti jadi tanda dari langit.
Keinginan membuat abon nabati karena dirasa belum ada. Farida lantas mencari tau lagi agar meyakinkan. Ia menemukan di internet bahwa baru di Pula Jawa ada abon nangka. Kenapa tidak membuat berbahan buah atau sayuran inilah ide bisnisnya.
Agar beda dari abon nangka Jawa, maka Farida menambahkan ikan teri khas Medan. Itu dipelajari Farida secara otodidak melalui serangkaian percobaan. Baru satu pekan diluncurkan, respon masyarakat ternyata sangat baik. Cara membuatnya mudah seperti abon biasa, "dikeringkan, dan ditumis kering dan kemudian digoreng.
Dalam seminggu sejak peluncuran, yang sebelumnya produksi 4kg bahan baku naik 5kg. Harga jualpun dia patok seharga Rp.12.000. Untuk marketing masih sama yaitu jemput bola atau door- to- door. Dia optimis apalagi menjelang musim lebaran. "Karena bisa dimakan sama lontong," tuturnya.
Post Comment
0 komentar:
Posting Komentar