Profil Pengusaha Asep Fahmi
Hidupnya tidak bisa berjauhan dengan pindang. Fakta hidup mahasiswa Institut Koperasi Indonesia (Ikopin) di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, bernama Asep Fahmi. Dia merupakan generasi ke- empat usaha yang dikenal seantero Bandung, yaitu Pindang Ma Ecot. Sejak kecil dia sudah diarahkan orang berwirausaha saja.
Jangan jadi pegawai begitu kiranya pesan orang tua. Tetapi mereka sama sekali tidak mengarahkan putranya meneruskan jejak keluarga. Alhasil pria 37 tahun ini sempat menanggur selama empat tahun. Dia sibuk tak jelas hingga menikah dengan seorang wanita bernama Noneng, 33 tahun.
Sempat menganggur maka usaha pertama dilakoni Asep adalah suplier ayam. Dia menjadi suplier ayam ke supermarket besar di Bandung. Lumayan hasil usahanya sampai dia bisa mengkredit mobil sendiri.
Takdir Tuhan
Enam sudah menjadi suplier ayam. Asep nampak tak betah bekerja begitu. Mulai lah dia berpikir bagaimana usaha sendiri. Tanpa tergantung orang lain seperti saran orang tua. Akhirnya Asep menganggur kembali dan ini membuat istrinya berkomentar. Kenapa sih tidak berbisnis pindang seperti orang tuanya.
Apalagi Asep masih harus membayar cicilan mobil. Berpikir ulang, dia akhirnya berniat melanjutkan bisnis pindang khas Nagreg. Padalah dia maunya menjual produk milik orang lain. "Dari istri dapat ide ngapain jual baru produk orang lain sementara produk orang tua sendiri sudah terkenal."
Ia pun setuju melanjutkan usaha jualan pindang pusaka warisan buyut. Meski warisan keluarga faktanya dia harus memulai usaha dari nol.
Dia berencana membuka usaha di Jalan Riau Martadinata. Modal tambahan selain resep ialah mobil pribadi yang belum lunas cicilan tersebut. Namun dia merasa khawatir karena disana merupakan daerah bebas PKL. "Saya takut digembok," imbuhnya.
Ia lantas berkeliling Bandung mencari tempat. Kebetulan Asep melewati Jalan Karapitan. Disana lah mulailah dia berjualan disana. "...disini sampai sekarang," tuturnya. Tepatnya dia berjualan belakang Horizon sejak di 2012. Lulusan marketing membuatnya tidak takut menjajakan produk.
Resep pindang pusaka tersebut dijual lewat mobil. Prinsip berjualan seperti layaknya PKL saja. Setiap hari dia tidak jenuh berjualan pidang.
Respon awal di tahun pertama menurutnya harus siap mental. Namanya berjualan kadang ramai, kadang juga sepi, dirasakan dia butuh mental sekuat mungkin. Tahun kedua pelanggan mulai terbentuk bahkan selalu saja ramai. Bahkan Sabtu- Minggu banyak pesanan datang terutama dari ibu rumah tangga.
Sehari dia menjual satu panci pindang berisi 150 pindang ikan mas ukuran Rp.15.000 sampai Rp.20.000.
Usaha warisan dari nol
Kalau ramai dia mampu menjual semua 150 pindang habis. Omzet Asep mencapai Rp.2 juta per- bulan dari jualan pindang saja. Asep mulai berjualan pukul 09.00 WIB hingga sore. Pukul 19.00 dia sudah kembali ke rumah di Nagreg.
Pulang ke rumah langsung tidur, karena besoknya dia dan istri harus bersiap membuat pindang. Pindang itu dibuat pas malamnya dijual di paginya.
"Capek sih, saya harus bangun pagi, berangkat ke Bandung jualan, kemudian balik lagi ke Negreg," kenang Asep.
Kelamaan terbiasa meski paling sulit diawal bangun tidur. Kalau sudah terbiasa bangun pagi ya dia mampu bangun pagi buta. Ia bekerja keras bersama sang istri. Rahasia kerja mereka ialah, istri mulai dari menyiapkan ikan mas, memproses matang sampai setengah matang. Ketika suami pulang, Asep mengolah itu jadi pindang.
Berjualan pindang selama empat tahun memberinya satu rumah makan di Nagreg. Dia mampu melanjutkan cicilan mobil bahkan mencicil rumah. Cicilan mobil yang diberinya nama Divisi Penjualan Pindang Pusaka Ma Ecot 2, Cabang Negreg, itu sudah lama terlunasi bahkan bisa beli lagi.
Sukses maka dia berencana membuka satu rumah maka lagi di Cianjur. Untuk Divisi Ma Ecot 2 masih dia pertahankan sebagai bentuk kedekatan ke masyarakat.
Sukses Asep membuat banyak orang mengikuti jejaknya. Beberapa bahkan malah mengaku- ngaku sebagai pindang Ma Ecot asli. Agar mengatasi hal tersebut, dia memperkuat rumah makan di Nagreg serta tanpa dia berhenti meyakinkan.
Awalnya orang tidak percaya orang yang berjualan di mobil itu asli. Apalagi nama Ma Ecot lebih dikenal oleh masyarakat asli Nagreg. Padahal Asep awalnya justru berjualan pindang lewat mobil keliling. "Tapi setelah mencoba, mereka tahu dari rasa," ujar bapak dua anak ini.
Bisnis Asep tidak berhenti di masakan Pindang. Ia juga menjual masakan khas Sunda, seperti pepes ikan mas, pepes ayam, telor ikan mas, rendang jengkol, abon ikan peda, kacang merah manis pedas, dan juga ada sambal goreng tempe.
Selain di Nagreg, Karawitan, kamu bisa menemukan olahan tersebut di tempat lain, tepatnya di Mekarwangi, Bandung. Tempat itu dikelolah oleh sang kakak, Ahmad.
Apalagi Asep masih harus membayar cicilan mobil. Berpikir ulang, dia akhirnya berniat melanjutkan bisnis pindang khas Nagreg. Padalah dia maunya menjual produk milik orang lain. "Dari istri dapat ide ngapain jual baru produk orang lain sementara produk orang tua sendiri sudah terkenal."
Ia pun setuju melanjutkan usaha jualan pindang pusaka warisan buyut. Meski warisan keluarga faktanya dia harus memulai usaha dari nol.
Dia berencana membuka usaha di Jalan Riau Martadinata. Modal tambahan selain resep ialah mobil pribadi yang belum lunas cicilan tersebut. Namun dia merasa khawatir karena disana merupakan daerah bebas PKL. "Saya takut digembok," imbuhnya.
Ia lantas berkeliling Bandung mencari tempat. Kebetulan Asep melewati Jalan Karapitan. Disana lah mulailah dia berjualan disana. "...disini sampai sekarang," tuturnya. Tepatnya dia berjualan belakang Horizon sejak di 2012. Lulusan marketing membuatnya tidak takut menjajakan produk.
Resep pindang pusaka tersebut dijual lewat mobil. Prinsip berjualan seperti layaknya PKL saja. Setiap hari dia tidak jenuh berjualan pidang.
Respon awal di tahun pertama menurutnya harus siap mental. Namanya berjualan kadang ramai, kadang juga sepi, dirasakan dia butuh mental sekuat mungkin. Tahun kedua pelanggan mulai terbentuk bahkan selalu saja ramai. Bahkan Sabtu- Minggu banyak pesanan datang terutama dari ibu rumah tangga.
Sehari dia menjual satu panci pindang berisi 150 pindang ikan mas ukuran Rp.15.000 sampai Rp.20.000.
Usaha warisan dari nol
Kalau ramai dia mampu menjual semua 150 pindang habis. Omzet Asep mencapai Rp.2 juta per- bulan dari jualan pindang saja. Asep mulai berjualan pukul 09.00 WIB hingga sore. Pukul 19.00 dia sudah kembali ke rumah di Nagreg.
Pulang ke rumah langsung tidur, karena besoknya dia dan istri harus bersiap membuat pindang. Pindang itu dibuat pas malamnya dijual di paginya.
"Capek sih, saya harus bangun pagi, berangkat ke Bandung jualan, kemudian balik lagi ke Negreg," kenang Asep.
Kelamaan terbiasa meski paling sulit diawal bangun tidur. Kalau sudah terbiasa bangun pagi ya dia mampu bangun pagi buta. Ia bekerja keras bersama sang istri. Rahasia kerja mereka ialah, istri mulai dari menyiapkan ikan mas, memproses matang sampai setengah matang. Ketika suami pulang, Asep mengolah itu jadi pindang.
Berjualan pindang selama empat tahun memberinya satu rumah makan di Nagreg. Dia mampu melanjutkan cicilan mobil bahkan mencicil rumah. Cicilan mobil yang diberinya nama Divisi Penjualan Pindang Pusaka Ma Ecot 2, Cabang Negreg, itu sudah lama terlunasi bahkan bisa beli lagi.
Sukses maka dia berencana membuka satu rumah maka lagi di Cianjur. Untuk Divisi Ma Ecot 2 masih dia pertahankan sebagai bentuk kedekatan ke masyarakat.
Sukses Asep membuat banyak orang mengikuti jejaknya. Beberapa bahkan malah mengaku- ngaku sebagai pindang Ma Ecot asli. Agar mengatasi hal tersebut, dia memperkuat rumah makan di Nagreg serta tanpa dia berhenti meyakinkan.
Awalnya orang tidak percaya orang yang berjualan di mobil itu asli. Apalagi nama Ma Ecot lebih dikenal oleh masyarakat asli Nagreg. Padahal Asep awalnya justru berjualan pindang lewat mobil keliling. "Tapi setelah mencoba, mereka tahu dari rasa," ujar bapak dua anak ini.
Bisnis Asep tidak berhenti di masakan Pindang. Ia juga menjual masakan khas Sunda, seperti pepes ikan mas, pepes ayam, telor ikan mas, rendang jengkol, abon ikan peda, kacang merah manis pedas, dan juga ada sambal goreng tempe.
Selain di Nagreg, Karawitan, kamu bisa menemukan olahan tersebut di tempat lain, tepatnya di Mekarwangi, Bandung. Tempat itu dikelolah oleh sang kakak, Ahmad.
Post Comment
0 komentar:
Posting Komentar